Berita  

Legacy Profesor Sudjarwo

banner 120x600

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S., menggelar Valediktori (pidato perpisahan) Guru Besar yang merupakan prosesi pelepasan dirinya sebagai PNS di Universitas Lampung (Unila) karena sudah memasuki usia pensiun.

Dalam acara yang digelar di Aula K, FKIP Unila, Rabu (31/5/2023), Prof. Sudjarwo mengundang rekan sejawat, teman dekat, dan para jurnalis yang selama ini lekat dengan pemikiran-pemikirannya melalui tulisan opini yang terbit di surat kabar ataupun media online di Lampung.

Tepat pada 20 Mei 2023, Prof. Sudjarwo berusia 70 tahun dan memasuki usia pensiun dengan jabatan terakhir sebagai Direktur Pascasarjana Unila.

Pada acara Valediktori Guru Besar ini, Prof. Sudjarwo membagikan buku berjudul “Legacy”, berisi tentang kisah kehidupannya sejak masa kecil, tulisan-tulisan opininya yang terbit di Lampung Post, Teraslampung.com, heloindonesia.com, Lampung.poskota.co.id, serta testimoni dari rekan sejawat, sahabat dan jurnalis.

Pada pidato perpisahannya, Prof. Sudjarwo berbagi tentang hakekat makna hidup. Menurutnya, para akademisi, termasuk guru besar adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan seharusnya berada pada wilayah ontologi, yaitu wilayah persepsi yang bebas nilai. Sebab, ketika masuk ke wilayah epistemologi dan axiologi akan menjadi tidak bebas nilai.

Oleh karena itu, lanjut Sudjarwo, laku begawan bagi ilmuwan adalah berusaha tidak menyakiti orang lain dan berusaha memperbaiki diri sendiri karena manusia tidak tahu kapan hari terakhir di bumi ini.

“Ilmuwan itu akan bermakna manakala lakunya menunjukkan akhlakul karimah, karena puncak ilmu itu pada adab yang didasari etika,” ujar guru besar yang sudah mendedikasikan diri selama 43 tahun di Unila.

Sederhananya, lanjut Sudjarwo, ontologi adalah ilmu, epistemologi adalah otak, dan axiologi adalah hati.

“Melayani dengan hati, berpikir dengan otak, dan bertindak dengan ilmu, maka kita adalah profesor kehidupan,” tuturnya.

Acara sederhana di Aula K Gedung FKIP Unila ini dihadiri oleh Prof. Muhajir Utomo, Prof. Agus Suyatna, Prof. M. Akib, Prof. Patuan Raja, Prof. Hasriadi Mat Akin, Prof. Bujang Rahman, Dr. Syarief Makhya, Anshori Djausal, dan rekan sejawat lainnya.

Juga hadir para mantan jurnalis dan jurnalis senior Lampung, diantaranya Heri Wardoyo mantan Redaktur Pelaksana Lampung Post yang juga Mantan Wakil Bupati Tulang Bawang, Oyos Saroso, Herman Batin Mangku, dan Sudarmono yang merupakan mantan redaktur Lampung Post, pengelola LNTV Broadcast (Lampung News) Adolf Ayatullah Indrajaya, serta beberapa jurnalis lainnya.

Dalam testimoninya, Heri Wardoyo mengatakan, kemampuan menulis secara produktif yang dilakukan Prof. Sudjarwo karena dia memiliki mata yang jeli, jiwa curious, seorang pencari abstraksi dibalik realitas.

“Beliau adalah orang yang tidak hanya melihat permukaan, tetapi selalu mencari makna dibalik realitas,” ujar Heri.

Menurutnya, banyak warisan pemikiran yang telah diberikan Prof. Sudjarwo. Selama masa aktif mengajar entah berapa ratus doktor yang telah dilahirkan, berapa gunung skripsi, tesis, dan disertasi yang mendapatkan sentuhannya yang akan menjadi tangganya menuju surga.

“Terimakasih atas tulisan yang mengalir dari Pak Djarwo, semoga ini membuka paradigma dan celah-celah dimensi kehidupan bagi banyak orang,” pungkas Heri.

Sementara, Anshori Djausal menyebut Prof. Sudjarwo bukan soulmate, melainkan sahabat sehati.

“Kami dekat hati dari 40 tahun. Dari jauh itu Pak Djarwo sumringah, suaranya tinggi dan pasti ceria, semangat. Kalau bertemu langsung ngobrol, langsung bersahabat, padahal kami tidak pernah satu lantai,” kata Anshori Djausal menceritakan kedekatannya dengan Prof. Sudjarwo.

Dia menjelaskan, ada banyak faktor yang membuat mereka cepat akrab, yaitu berasal dari satu generasi, orang tua mereka gerilyawan di masa pendudukan Belanda, dan setiap tahun mendengarkan pidato Soekarno, memahami bagaimana bangsa ini tumbuh.

“Kenapa kok begitu gampang kami berbicara sesuatu? Apa yang kami bicarakan itu? Kebajikan!” ujar Anshori.

Ternyata, lanjutnya, semua itu merupakan dasar-dasar humanisme yang baru dia pelajari ketika menjadi mahasiswa. Piagam Human Rights muncul karena kekejamam perang.

“Bagaimana humanisme ini muncul dengan mudah karena ada perasaan senasib sebagai korban perang,” tuturnya.

Pada pelajaran Pancasila, kata Anshori, cukup mudah untuk memahami sila ke-1, ke-3, ke-4, dan ke-5, tetapi tidak dengan sila ke-2.

Anshori mengaku baru memahami pengertian Sila ke-2 yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan beradab ketika membaca satu tulisan di NU Online tentang Pesan-Pesan Arafah Nabi Muhammad Shallalahu alaihi wassalam yang mengingatkan bahwa semua muslim itu bersaudara dan tidak ada perbedaan.

“Kalau saya memeras sila ke-2, (artinya) persaudaraan. Persaudaraan itu dari hati, bukan sekedar teman. Itu dapat membuat kita lebih jauh memahami persoalan manusia-manusia lain karena kita bergerak dari hati,” tuturnya.

Sementara, Hieronymus Soerjatisnanta, dosen Fakultas Hukum Unila yang kerap menjadi lawan debat Prof. Sudjarwo meminta Prof. Sudjarwo untuk tidak pensiun dari tugasnya sebagai ilmuwan dan begawan. Unila merupakan rumah bersama yang membutuhkan orang seperti Prof. Sudjarwo.

“Kalau bicara soal hukum, saya lebih jago, tetapi kalau bicara filsafat, sungguh saya tidak layak berbicara di depan mahasiswa,” tutur Tisnanta.

Dia yakin, Prof. Sudjarwo masih tetap bisa mengabdi di Unila karena pengabdian seorang begawan itu merupakan perjalanan panjang menuju akhirat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Seedbacklink